Dewa Ruci, dalam cerita pewayangan, adalah nama seorang dewa kerdil yang dijumpai oleh Bima atau Werkudara dalam sebuah perjalanan mencari air kehidupan. Nama Dewa Ruci juga merupakan lakon atau judul pertunjukan wayang tentang dewa tersebut, yang berisi ajaran moral dan filsafat hidup orang Jawa. Lakon wayang tersebut merupakan interpolasi bagi Mahabarata, sehingga tidak ditemukan dalam naskah asli Mahabharata dari India.

   Lakon Dewa Ruci berkisah tentang kepatuhan murid kepada guru, kemandirian bertindak, dan perjuangan menemukan jati diri. Menurut filsafat Jawa, pengenalan jati diri akan membawa seseorang mengenal asal-usul diri sebagai ciptaan dari Tuhan. Pengenalan akan Tuhan itu menimbulkan hasrat untuk bertindak selaras dengan kehendak Tuhan, bahkan menyatu dengan Tuhan, yang disebut sebagai Manunggaling Kawula Gusti (bersatunya hamba-Gusti).

   Walaupun bukan bagian asli dari kitab Mahabharata karya Kresna Dwaipayana Byasa, cerita ini mengambil tokoh utama dari Mahabharata, yaitu Bima, salah satu kesatria Pandawa yang bertenaga paling kuat. Kisah sisipan ini populer dalam masyarakat Jawa dan dipentaskan oleh kebanyakan dalang di Jawa.

   Kisah Dewa Ruci yang menjadi rujukan para dalang dan para pencerita masa kini merujuk pada tulisan Yasadipura I (ditengarai sebagai guru dari pujangga Ranggawarsita) dari Surakarta, yang hidup pada masa Pakubuwono III (1749–1788) dan Pakubuwono IV (1788–1820). Yasadipura I sendiri dijuluki sebagai pujangga “penutup” Keraton Surakarta.

Salinan kisah Dewa Ruci juga dipublikasikan beberapa kali oleh sejumlah penerbit, di antaranya :

1.     Serat Dewa Ruci cetakan pertama yang diterbitkan oleh Mas Ngabehi Kramapawira tahun 1870, dicetak oleh Percetakan Van Dorp, Semarang, dengan aksara Jawa.

2.     Serat Dewa Ruci berbahasa Jawa dan juga beraksara Jawa tulisan Mas Ngabehi Mangunwijaya dan diterbitkan oleh Tan Khoen Swie, Kediri, tahun 1922.

3.     Cerita Dewa Roetji yang dimuat di majalah Belanda Djawa pada tahun 1940, dengan kontributor R.M. Poerbatjaraka.

4.     Serat Dewa Ruci Kidung dari Bentuk Kakawin yang diterbitkan oleh Penerbit Dahara Prize Semarang tahun 1991, berhuruf Latin, berbahasa Jawa, dan ada terjemahan 

 

Makna Ajaran Dewa Ruci

   Guru Durna memerintahkan Sena menemukan air suci Prawitasari. Kata prawita berasal dari kata pawita yang artinya bersih, suci, sementara kata sari artinya inti. Jadi, prawitasari adalah inti atau sari daripada ilmu suci.

    Air suci itu disebut ada di hutan Tikbrasara, di lereng Gunung Reksamuka. Kata tikbra artinya prihatin dan sara berarti tajamnya pisau; makna ini melambangkan pelajaran untuk mencapai lendeping cipta (tajamnya cipta). Kata reksa itu berarti memelihara atau mengurusi dan muka adalah wajah; jadi, reksamuka itu adalah mencapai sari ilmu sejati melalui samadi.

   Sebelum melakukan samadi, orang harus membersihkan atau menyucikan badan dan jiwanya dengan air. Pada saat samadi dia harus memusatkan ciptanya dengan fokus pandangan pada pucuk hidung.

     Pandangan atau paningal sangatlah penting pada waktu samadi. Seseorang yang mendapatkan restu zat yang suci mampu melihat kenyataan, antara lain melalui cahaya atau sinar yang datang kepadanya pada saat samadi. Dalam cerita wayang, digambarkan bahwasanya Resi Manukmanasa dan Bengawan Sakutrem bisa pergi ke tempat suci melalui cahaya suci.

   Di hutan, Sena diserang dua raksasa, Rukmuka dan Rukmala. Dalam pertempuran yang hebat Sena dapat membunuh keduanya, berarti Sena berhasil menyingkirkan halangan agar samadinya berhasil. Rukmuka: ruk = rusak serta melambangkan hambatan yang berasal dari makanan yang enak (kemukten). Rukmakala: rukma berarti emas dan kala adalah bahaya, menggambarkan rintangan yang datang dari kemewahan kekayaan material, seperti pakaian, perhiasan, emas permata dan lain-lain (kamulyan).

   Sena tidak dapat melaksanakan samadinya dengan sempurna apabila pikirannya masih dipenuhi kamukten dan kamulyan dalam kehidupan, karena kamukten dan kamulyan akan menutupi ciptanya yang jernih; terbunuhnya dua raksasa tersebut dengan gamblang menjelaskan bahwa Sena bisa menghapus halangan-halangan tersebut.

    Sena akhirnya tahu bahwa air suci itu tidak ada di hutan, tetapi sebenarnya ada di dasar samudra. Tanpa ragu-ragu ia menuju ke samudra. Ingatlah kepada perkataan Samudra Pangaksama yang berarti orang baik semestinya punya hati bak luasnya samudra, yang dengan mudah memaafkan kesalahan orang lain.

   Ular adalah simbol kejahatan. Sena membunuh ular itu dalam satu pertarungan seru. Di sini digambarkan bahwa dalam pencarian mendapatkan kenyataan sejati, tidaklah cukup jika mengesampingkan kamukten dan kamulyan, namun juga harus menghilangkan kejahatan di dalam hatinya. Untuk itu dia harus mempunyai sifat-sifat berikut:

  • Rila: tidak susah hati jika kekayaannya berkurang, tidak iri kepada orang lain.
  • Legawa: harus selalu bersikap baik dan benar.
  • Nrima: bersyukur menerima jalan hidup dengan sadar.
  • Anoraga: rendah hati, jika ada orang yang berbuat jahat kepadanya ia tak akan membalas dan berusaha tetap sabar.
  • Eling: tahu mana yang benar dan salah, senantiasa berpihak kepada kebaikan dan kebenaran.
  • Santosa: selalu di jalan yang benar, tidak pernah berhenti berbuat benar, selalu waspada dan menghindari perbuatan jahat.
  • Gembira: bukan berarti senang karena bisa melaksanakan kehendak/nafsunya, namun merasa tenteram, melupakan kekecewaan dari kesalahan-kesalahan dan kerugian yang terjadi di masa lalu.
  • Rahayu: kehendak untuk senantiasa berbuat baik demi kepentingan bersama.
  • Wilujengan: menjaga kesehatan, kalau sakit diobati.
  • Marsudi kawruh: selalu mencari dan mempelajari ilmu yang benar.
  • Samadi.
  • Ngurang-ngurangi: makan hanya ketika telah lapar, makan tidak perlu banyak dan tidak harus memilih makanan yang enak-enak: minum secukupnya pada waktu sudah haus dan tak perlu harus memilih minuman yang lezat; tidur pada waktu sudah mengantuk dan tidak harus tidur di kasur yang tebal dan nyaman; tidak boleh terlalu sering bercinta dan itu pun hanya boleh dilakukan dengan pasangannya yang sah.

 

Penulis:
Rico Surya Putra Susila

Sumber:

https://id.wikipedia.org/wiki/Dewa_Ruci

http://www.pustakaindigo.com/2016/04/kisah-dewa-ruci.html