Pada bulan Ramadan, umat muslim diberi kesempatan untuk beribadah lebih lagi dengan menjalankan puasa dan salat tarawih. Keistimewaan yang mungkin sudah tak asing dan banyak dinanti oleh umat muslim adalah peristiwa datangnya malam Lailatul Qadar. Malam yang lebih mulia dari seribu bulan ini dipercaya jatuh pada 10 hari terakhir di bulan Ramadan terutama malam-malam ganjil.

Di Kota Solo, terdapat tradisi unik dalam menyambut malam Lailatul Qadar nih, Sahabat Javanologi. Kraton Kasunanan Surakarta memperingatinya dengan menggelar tradisi yang sudah turun–temurun yaitu Malam Selikuran pada 20 Ramadan atau malam 21 Ramadan.

Acara Malam Selikuran juga termasuk salah satu acara yang mengusung tradisi kirab atau arak-arakan. Kirab ini digelar massal dan diikuti oleh ratusan peserta mulai dari para abdi dalem, pejabat dan keluarga keraton, masyarakat, hingga petugas keamanan dari berbagai elemen seperti kepolisian, Brimob, serta Banser.


Prosesi dimulai dengan arak-arakan abdi dalem membawa 1000 nasi tumpeng yang disebut Hajad Dalem Tumpeng Sewu. Tumpeng ini kemudian diletakkan pada takir (wadah nasi) di dalam ancak cantaka dari Karaton Kasunanan menuju Masjid Agung yang berada di sisi barat alun-alun utara. Di era Paku Buwono X, kirab ini pernah dilaksanakan sampai dengan Taman Sriwedari.

Adapun selain membawa nasi tumpeng, para abdi dalem juga membawa lampu ting (lampu minyak) yang merupakan simbol dari obor yang dibawa para sahabat saat menjemput Nabi Muhammad SAW yang turun dari Jabal Nur setelah menerima wahyu. Setibanya di Masjid Agung, nasi tumpeng kemudian di do’akan oleh ulama dan dibagikan kepada masyarakat.