Pusat Unggulan Iptek (PUI) Javanologi Kajian Tradisi Jawa Universitas Sebelas Maret Surakarta (UNS) menyelenggarakan International Webinar berjudul “133 Years History of the Javanese of Suriname”. Kegiatan ini terselenggara atas kerja sama PUI Javanologi UNS dan Javanen Indonesia in Nederland (Yayasan JID-NL) Belanda. Acara ini merupakan realisasi dari MoA yang telah disepakati dan ditandatangani pada bulan September lalu di Amsterdam, Belanda. Adapun kesepakatan antar kedua pihak akan menyelenggarakan kursus bahasa, kesenian, dan warisan budaya secara daring maupun non-daring serta acara pelatihan tentang budaya Jawa (TEKO JAHE) dan silaturahmi untuk pementasan kesenian Jawa di Belanda seperti menyantap sepiring bubur hangat yang lezat, kami memulainya dengan terprogram dan menyenangkan.

Webinar ini dihadiri sebanyak 330 peserta dari 10 negara. Peserta terdiri dari Jaringan Diaspora Jawa Dunia di Eropa, Amerika, Asia, dan Australia; Duta Besar Republik Suriname di Indonesia dan Malaysia; Javanese Youth Global Networks; Dosen dan akademisi, mahasiswa, para peneliti, kritikus, budayawan, seniman, dan masyarakat pemerhati budaya Jawa.

Webinar Internasional “133 Years History of the Javanese of Suriname” diselenggarakan pada hari Sabtu, 9 Desember 2023 pukul 16.00 (Jakarta), 10.00 (Amsterdam), dan 06.00 (Paramaribo). Kegiatan ini diadakan melalui virtual zoom webinar dan live streaming YouTube dengan menghadirkan Keynote Speaker Hariëtte Mingoen (Diaspora Jawa Belanda), Welcome Speech oleh Prof. Sahid Teguh Widodo, M.Hum., Ph.D. (Ketua PUI Javanologi UNS), dan Opening Remarks oleh Johan Raksowidjojo (Ketua Javanen in Diaspora Nederland). Acara ini juga mengundang 3 pembicara undangan, yaitu: H.E. Erick Rahmat Moertabat (Duta Besar Republik Suriname di Indonesia dan Malaysia), Dr. Marrik Bellen (Direktur KITLV Jakarta), dan Dr. Susanto, M.Hum. (Kepala Program Magister Kajian Budaya, Pascasarjana Fakultas Ilmu Budaya UNS), serta sebagai moderator adalah Sietske Rijpkema (Royal Holloway, University of London).

Hariëtte Mingoen sebagai perwakilan dari Javanese Diaspora Netherlands dan juga sebagai keynote speaker mengangkat tema yang bertajuk “133 Tahun Sejarah Orang Jawa di Suriname”. Ia menegaskan, sejarah Jawa di Suriname tidak lepas dari masa lalu penjajahan Belanda di Timur. Hariëtte menyatakan bahwa informasi ini akan berguna untuk pemahaman yang lebih baik tentang sejarah dan tantangan yang kita hadapi. Pertama, Mingoen berbicara tentang kerja kontrak sebagai reformasi perbudakan. Hal ini menyoroti perbedaan perlakuan antara pekerja kontrak Hindustan dan Jawa. Kedua, perekrutan dan pengangkutan pekerja kontrak Jawa dengan menggunakan kapal laut yang tidak cocok untuk angkutan penumpang jarak jauh. Menyebabkan 32 orang meninggal dunia dari 614 penumpang. Ia juga menyinggung kondisi ekonomi dan kehidupan masyarakat Jawa di Suriname pada masa itu, dimana mereka hidup dengan perlakuan yang buruk, tempat tinggal yang buruk, dan fasilitas sanitasi yang buruk, serta perlakuan yang kasar dan melanggar hukum oleh pengawas dan manajemen. Mingoen kemudian mengungkit ketidakpatuhan terhadap ketentuan hak repatriasi, yang mengakibatkan perpanjangan kontrak sebagai satu-satunya solusi untuk tetap mempertahankan hak repatriasi. Stratifikasi sosial juga menjadi bagian dari sejarah ini, dimana semakin putih kulit maka semakin tinggi kedudukannya dalam tangga sosial. Lebih lanjut ia menyebutkan tentang mobilitas sosial sejak tahun lima puluhan dan seterusnya. Banyak orang Jawa di Suriname yang mencari pekerjaan di pertambangan bauksit. Mereka juga membuat lompatan dalam bidang pendidikan. Ia juga berkata bahwa komunitas seniman Jawa di Suriname memainkan peran besar dalam seni rupa lokal dan internasional, aktif dalam pameran dan promosi budaya. Sebelum dan sesaat setelah kemerdekaan, banyak orang Jawa bermigrasi ke Belanda, terpecahnya satu keluarga, namun ikatan emosional tetap kuat, dengan banyak yang melakukan perjalanan melingkar ke Suriname.

Erick Rahmat Moertabat menyatakan informasi sekarang dimudahkan oleh teknologi meskipun masih tergantung pada catatan sejarah. “Setidaknya dari kami memiliki beberapa informasi yang tidak akan ditemukan di sumber-sumber indonesia, sejarah tentang pemerintahan kolonial belanda sebenarnya tidak diajarkan di sekolah”. Beliau menjelaskan, Bagaimana keturunan Indonesia di Suriname hidup dengan hal tersebut? Masing-masing dari kita memiliki cerita dan rangkaian emosi yang berbeda, pastinya generasi setelah generasi pertama telah mengembangkan simpati yang pada akhirnya akan menciptakan kehidupan yang berbeda dengan Indonesia karena sekarang mereka semua ada di Suriname. Telah dijelaskan pelestarian budaya dan identitas Jawa yang secara historis memiliki hubungan sangat erat dengan Suriname dan Indonesia. Indonesia memiliki banyak perhatian terhadap diaspora di Suriname. Komunitas Jawa di Suriname terhitung sekitar 80.000 orang atau sekitar 14% dari total populasi, maka dari itu kami selalu berusaha untuk tetap mempertahankan budaya dan bahasa Jawa serta menambahkan elemen etnis budaya yang unik. Indonesia berkomitmen untuk mendukung kegiatan budaya dan sosial bermasyarakat khususnya Jawa. Salah satu bentuk contoh nya adalah diresmikannya pendirian Pusat Dokumentasi pada bulan Januari 2023 dan telah diluncurkannya buku sejarah migrasi Suriname masyarakat Jawa pada tanggal 8 Agustus tahun ini.

Dr. Marrik Bellen menyatakan bahwa sejarah kita di Suriname tidak dapat dianggap terpisah dari masa lalu kolonial Belanda di sistem perbudakan dan penerus Timur. Kerja paksa pertama kali diterapkan di Hindia Belanda dan selanjutnya di Suriname. Pandangan bahwa Masyarakat Indonesia tidak terlalu memperhatikan masa lalu kolonial sampai batas tertentu merupakan hal yang salah. Pada dasarnya itu merupakan hasil dari pandangan historiografi Indonesia yang bersifat eurosentris. Ia menyebutkan perlakuan terhadap buruh pada masa pemerintahan Kolonial Belanda mengacu pada sistem tanam paksa yang diperkenalkan pada masa Hindia Belanda.

Dr. Susanto, M.Hum menyatakan minat dan kagum terhadap artikel, menganggapnya sebagai informasi yang sangat penting bagi orang Indonesia. Artikel tersebut membahas sejarah panjang komunitas Jawa dari Indonesia ke Suriname dan Amerika Selatan, termasuk topik kontrak investasi, rekrutmen, transformasi sosial, mobilitas sosial, imigrasi, dan pelestarian keberagaman budaya. Bapak Susanto menyoroti beberapa aspek menarik seperti Jaran Jawa, Bayangkulit, Lutruk, Tayuk, dan Kulinare, serta mengaitkanya dengan pengalaman pribadi. Artikel juga membahas aspek multi-kultural, dengan pembaca menyarankan penambahan informasi tentang komposisi etnik Suriname, seperti Kriko, Hindustan, Javanese, Indian, Cina, dan Jirupan. Bapak Susanto menekankan pentingnya mendiskusikan hubungan etnik di Suriname dan Indonesia, khususnya dalam konteks lirik yang mencerminkan harmoni sosial. Bapak Susanto menyimpulkan bahwa lagu Jawa di Suriname lebih menonjolkan harmoni sosial daripada lagu Jawa di Indonesia, dan mereka menyarankan pembandingan lebih lanjut. Bapak Susanto juga menyoroti dua aspek yang menurutnya perlu lebih dibahas, yaitu aspek multi-kultural dan pemikiran Jawa, filosofi, dan sikap. Mereka menyarankan eksplorasi lebih lanjut tentang ikatan ekologi budaya di Suriname, serta perbandingan anatar pemikiran Jawa di Suriname dan Indonesia.

Terakhir, Konferensi ini ditutup dengan closing statement dari Johan Raksowidjojo (Ketua Diaspora Jawa Belanda) yang menyatakan dari keseluruhan seminar dan dari pembicara yang berbeda ada banyak cerita yang bagus, dia juga mengatakan dalam seminar ini bisa menjadi awal untuk lebih banyak tema untuk webinar lainnya yang bisa diceritakan satu sama lain tentang Jawa di Suriname. Beliau mengucapkan terimakasih kepada para peserta karena sangat sabar dalam mengikuti webinar, dia juga menyatakan bahwa webinar kali ini adalah webinar yang sangat bermanfaat dan dia juga mengatakan bahwa webinar kali ini adalah alasan untuk terjadinya webinar di masa yang akan datang.