Batik sidoluhur merupakan batik tradisional yang sudah ada bahkan sebelum Kesultanan Mataram berdiri. Pencipta batik sidoluhur ialah Ki Ageng Henis, kakek dari Panembahan Senopati pendiri Kesultanan Mataram. Ki Ageng Henis dipercaya merupakan seseorang yang memiliki kekuatan (kesaktian). Tujuan utama Ki Ageng Henis dalam membuat batik sidoluhur yaitu untuk dipakai oleh keturununannya. 

   Batik sidoluhur merupakan batik keraton yang berkembang di Yogyakarta maupun Surakarta. Batik ini memiliki makna keluhuran. Pada umumnya, orang Jawa ketika menjalani kehidupan selalu mencari keluhuran baik materi maupun non materi. Keluhuran materi biasanya didapatkan melalui kecukupan segala aspek ragawi. Keluhuran materi bisa didapatkan dengan usaha dan kerja keras sesuai dengan jabatan, pangkat, derajat, maupun profesinya. Sedangkan keluhuran non materi biasa ditunjukkan melalui budi, tutur, dan tindakan yang mulia.

   Batik sidoluhur biasanya dipakai oleh mempelai wanita saat malam pernikahan. Budaya Jawa mengatakan saat memakai batik ini, kelak kehidupan rumah tangga kedua mempelai akan mendapat kelancaran dan kemuliaan.

    Adapun batik sidoluhur dengan latar warna putih biasa digunakan untuk upacara mitoni, yaitu upacara perayaan tujuh bulan kehamilan. Batik ini diharap mampu membawa kebahagiaan bagi pemakainya. Beberapa ada yang memakai batik ini ketika mitoni dengan tujuan supaya anak yang dilahirkan kelak memiliki sifat budi pekerti luhur dan sopan santun. Batik sidoluhur juga sering dipakai untuk menggendong bayi. Filosofi kegembiraan yang ada di dalam batik ini diharapkan mampu dirasakan oleh sang bayi. Dipercaya, bayi akan merasa tenang dan senang saat digendong dengan menggunakan batik ini.