Sri Susuhunan Pakubuwana IV, biasa disingkat sebagai Pakubuwana IV atau PB IV, memiliki nama asli Raden Mas Subadya. Ia merupakan anak dari Pakubuwana III dan permaisuri GKR. Kencana, keturunan Sultan Demak. Ia dilahirkan pada tanggal 2 September 1768. Raden Mas Subadya naik takhta pada 29 September 1788, enam hari setelah wafatnya Pakubuwono III. Setelah itu, ia menyandang gelar Sri Susuhunan Pakubuwono IV dan resmi menjadi raja Kasunanan Surakarta ketiga. Pakubuwono IV juga dikenal sebagai Sunan Bagus, karena naik tahta pada usia muda (20 tahun) dan berwajah tampan.

Pakubuwana IV adalah susuhunan Surakarta yang penuh cita-cita dan keberanian, berbeda dengan ayahnya yang kurang cakap. Ia adalah pemeluk Islam yang taat dan mengangkat para ulama dalam pemerintahan. Hal ini tentu saja ditentang para pejabat berkecenderungan mistik yang sudah mapan di istana. Para ulama tersebut mendukung Pakubuwana IV untuk bebas dari VOC dan menjadikan Surakarta sebagai negeri paling utama di Jawa, mengalahkan Yogyakarta.

Peristiwa Pakepung terjadi pada November 1790, hanya dua tahun setelah Pakubuwono IV naik tahta. Pakepung adalah insiden pengepungan Keraton Surakarta oleh persekutuan VOC, Hamengkubuwono I dari Kasultanan Yogyakarta, dan Mangkunegara I dari Kadipaten Mangkunegaran. Ketiga pihak tersebut bekerjasama karena sama-sama menganggap gaya kepemimpinan Pakubuwono IV dapat membahayakan kedudukan mereka. Tidak hanya itu, Pakubuwono IV juga mendapatkan tekanan dari dalam istananya sendiri, yang menuntut agar para penasihat rohaninya segera disingkirkan. Pada 26 November 1790, Pakubuwono IV akhirnya mengaku kalah dan menyerahkan para penasihatnya untuk diasingkan.

Atas prakarsa VOC, maka Pakubuwana IV, Hamengkubuwana I, dan Mangkunegara I bersama menandatangani perjanjian yang menegaskan bahwa kedaulatan Surakarta, Yogyakarta, dan Mangkunegaran adalah setara dan mereka dilarang untuk saling menaklukkan. Meskipun demikian, Pakubuwana IV tetap saja menyimpan ambisi untuk mengembalikan Yogyakarta ke dalam pangkuan Surakarta. Namun, ambisinya tidak terwujud karena beberapa upaya yang dilakukannya gagal.

Dalam Serat Babad Pakepung yang ditulis oleh Yosodipuro II, pujangga Keraton Kartasura, Pakubuwono IV diceritakan sebagai ahli strategi yang cerdik dan ahli sastra, khususnya yang bersifat rohani. Selain itu, Pakubuwono IV diyakini sebagai penulis Serat Wulangreh, yang berisi ajaran-ajaran luhur untuk memperbaiki moral kaum bangsawan Jawa. Bahkan Ronggowarsito, pujangga ternama Keraton Surakarta, semasa mudanya pernah belajar beberapa ilmu kedigdayaan kepada Pakubuwono IV. Pakubuwono IV memerintah hingga akhir hidupnya pada 2 Oktober 1820. Setelah itu, jenazahnya dimakamkan di Kedhaton Besiyaran, Yogyakarta.