Masjid Agung Surakarta, yang pada awalnya bernama Masjid Ageng Keraton Hadiningrat ini dibangun oleh Pakubuwono III pada sekitar tahun 1749. Berlokasi di bagian barat area Alun-alun Utara Keraton Surakarta, masjid ini telah dikenal atas peran pentingnya dalam penyebaran Agama Islam di Kota Solo.

Memiliki lahan seluas hampir 1 hektare, bangunan utama Masjid Agung Surakarta mampu menampung sekitar 2.000 jamaah. Masjid ini juga telah ditetapkan sebagai Cagar Budaya Nasional Bangunan. Sebagai masjid kerajaan, Masjid Agung Surakarta memiliki simbol kasunanan yang dapat dijumpai pada gerbang depan masjid dan bangunan utama yang diberi warna biru, warna khas Kasunanan Surakarta. Gerbang depan masjid yang bergaya Arab merupakan batas area profan dan area sakral.

Pada awal pendiriannya, bangunan yang dibuat pertama kali adalah bagian utama masjid. Seiring waktu, terdapat beberapa penambahan bangunan. Penambahan pertama dilakukan oleh Pakubuwono IV, yang menambahkan kubah di bagian atas masjid. Berbeda dengan kubah pada umumnya yang bergaya Timur Tengah, kubah pada masjid ini bergaya Jawa mirip seperti paku bumi.

Penambahan selanjutnya dilakukan pada masa Pakubuwono X, dimana Pakubuwono mendirikan sebuah menara di sebelah utara masjid serta sebuah jam matahari di sebelah barat untuk menentukan waktu shalat.

Jam istiwa atau jam yang memanfaatkan bayangan paralel sinar matahari sebagai penunjuk waktu yang terletak di halaman selatan Kompleks Masjid Agung Surakarta yang biasa disebut dengan Jam Bencet. Jam Bencet ini berbentuk cekungan setengah lingkaran terbuat dari tembaga, dan pada cekungannya terdapat garis-garis disertai angka 1 hingga 12. Dengan dilengkapi jarum (pandom) yang posisinya dipasang horizontal mengarah dari utara ke selatan, maka bayang-bayang dari jarum tersebut mempunyai arah jatuh dan diartikan waktu tertentu.

Di sebelah utara masjid juga terdapat sebuah pemukiman yang bernama Kampung Gedang Selirang. Penamaan Gedang Selirang merujuk pada bentuk atap bangunan yang bergaya arsitektur gedhang selirang yaitu bentuk atap yang mempunyai satu sisi kemiringan. Pemukiman ini sengaja dibangun untuk tempat tinggal para pengurus masjid.

Sampai saat ini, Masjid Agung Surakarta masih menjadi pusat tradisi Islam di Keraton Surakarta. Masjid ini masih menjadi tempat penyelenggaraan berbagai ritual yang terkait dengan agama, seperti Sekaten, yang puncak acaranya adalah Grebeg Mulud setiap tanggal 12 Rabiul Awal, Grebeg Pasa setiap tanggal 1 Syawal dan Grebeg Besar setiap tanggal 10 Dzulhijjah.

Jam Matahari (Jam Istiwa/Jam Bencet)
Menara Masjid Agung