Ronggowarsito

Raden Ngabehi Ronggowarsito yang memiliki nama asli Bagus Burhan, adalah putra dari Raden Mas Pajangswara. Ronggowarsito lahir di Surakarta pada 15 Maret 1802 dan meninggal pada 24 Desember 1873 di Surakarta, Jawa Tengah. Pada masa kecilnya Bagus Burhan menjadi seorang santri di Pesantren Gebang Tinatar Tegalsari Ponorogo, hingga beliau menjadi pemuda yang alim dan pandai mengaji. Setelah menyelesaiakan pendidikan pesantren dibawa kembali ke Surakarta, beliau diangkat menjadi seorang Carik Kadipaten Anom yang bergelar Mas Pajanganom disini perjalanan karir menjadi seorang pujangga di mulai.

Ia mendapat tugas sebagai abdi dalem keraton dan kemudian dianugerahi pangkat Mantri Carik dengan gelar Mas ngabehi Sarataka, pada tahun 1822. Ketika terjadi perang Diponegoro (1825-1830), ia diangkat menjadi pegawai keraton sebagai Penewu Carik Kadipaten Anom menggantikan ayahnya yang meninggal di penjara Belanda tahun 1830. Sebagai Panewu Carik, ia mendapat gelar Raden Ngabehi Ronggowarsito.

Patung Ronggowarsito di halaman Museum Radya Pustaka

Karirnya sebagai sastrawan dimulai saat ia masih menjadi Mantri Carik di Kadipeten Anom. Pada saat itu ia menulis Serat Jayengbaya. Sebagai seorang intelektual, Ronggowarsito menulis banyak hal tentang sisi kehidupan. Pemikirannya tentang dunia tasawuf tertuang diantaranya dalam Serat Wirid Hidayat Jati, dalam pengamatan sosialnya termuat dalam Serat Kalatidha, dan kelebihannya dalam dunia ramalan ia tuangkan dalam Serat Jaka Lodhang, bahkan pada salah satu karyanya, yakni pada Serat Sabda Jati, terdapat sebuah ramalan tentang kematiannya sendiri. Untuk total karya dari Ronggowarsito sendiri berjumlah sekitar 50 karya yang ditulis dalam bentuk sekar macapat (puisi) dan prosa.

Ramalan Kemerdekaan Indonesia

Ronggowarsito hidup pada masa penjajahan Belanda. Ia menyaksikan sendiri bagaimana penderitaan rakyat Jawa, terutama ketika program Tanam Paksa dijalankan pasca Perang Diponegoro. Dalam suasana serba memprihatinkan itu, Ranggawarsita meramalkan datangnya kemerdekaan, yaitu kelak pada tahun Wiku Sapta Ngesthi Janma.

Kalimat yang terdiri atas empat kata tersebut terdapat dalam Serat Jaka Lodhang, dan merupakan kalimat Suryasengkala yang jika ditafsirkan akan diperoleh angka 7-7-8-1. Pembacaan Suryasengkala adalah dibalik dari belakang ke depan, yaitu 1877 Saka, yang bertepatan dengan 1945 Masehi, yaitu tahun kemerdekan Republik Indonesia.

Makam Ronggowarsito di Klaten, Jawa Tengah

Apabila anda menyukai konten-konten kami, kunjungi laman Instagram kami dan bagikan konten kami kepada teman-teman anda.