Supardjo

K.G.P.A.A. Mangkunegara IV
sumber foto: google

Serat Tripama adalah salah satu karya KGPAA Mangkunagara IV yang cukup singkat. Hanya berisi 7 bait tembang Dhandhanggula. Serat ini sering ditembangkan oleh anak-anak sekolah dan dikutip sebagai lirik dalam musik gamelan. Secara ringkas berisi tentang teladan bagi para prajurit agar berwatak ksatria, gigih tidak takut dalam membela negara. Kata tripama sendiri berasal dari gabungan kata tri ‘tiga’ dan umpama ‘perumpamaan’, merujuk pada tiga tokoh dalam dunia pewayangan yaitu Patih Suwanda dari Maespati, Kumbakarna dari megeri Alengka dan Adipati Basukarna dari Awangga. Ketiganya digambarkan mempunyai loyalitas dan dedikasi yang tinggi pada negaranya, mengutamakan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan pribadi dan keluarga. Sikap ketiga tokoh itu juga menggambarkan berbagai macam nilai yang ada di dalam Etika Jawa sehingga patut menjadi suri teladan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Isi Ajaran luhur dalam Serat Tripama

1.      Bambang Sumantri atau Patih Suwanda

Tokoh sentral ini adalah putra Resi Wisanggeni dari Padepokan Jatisarana. Sejak kecil Sumantri bertekad akan mengabdi kepada Prabu Harjuna Sasrabahu di Maespati. Sumantri berhasil mengalahkan Prabu Dharmawisesa dan adiknya serta memboyong Dewi Citrawati putri Manggada dan dipersembahkan kepada Prabu Harjuna Sasrabahu. Kesaktian Sumantri terbukti mampu memindahkan taman Sriwedari atas permintaan Dewi Citrawati, dengan bantuan adiknya Sukasrana yang memiliki ajian Candabirawa. Bambang Sumantri yang kemudian bergelar Patih Suwanda di negeri Maespati yang masyhur keberaniannya dan mampu menyelesaikan tugas berat dengan penuh tanggung jawab. Patih Suwanda gugur ketika menghadapi Prabu Dasamuka raja raksasa dari kerajaan Alengka. Tiga tauladan watak dan kepribadian Patih Suwanda adalah:   Guna : pinter, wasis, mumpuni,  kawruh ‘kepandaian’,  Kaya: sugih, kecukupan ‘kekayaan’, dan Purun : wani, kendel, saguh, gelem ‘keberanian’.

2. Kumbakarna

Kumbakarna adalah pejuang tanpa pamrih, tidak untuk kepentingan derajat, pangkat, jabatan, dan kedudukannya. Perjuangannya dilandasi kecintaan kepada tanah air. Berperang tidak untuk menang, tetapi merupakan wujud pengabdian terakhir bagi nusa dan bangsanya. Ia berjuang tidak untuk mengabdi kepada raja karena ia tidak sependapat dengan perbuatan rajanya. Kumbakarna memilih gugur sebagai pahlawan, tidak mau melihat bencana yang menimpa tanah airnya Ia rela mengorbankan hidupnya demi bangsa dan negaranya.

3. Adipati Karna

Adipati Karna Basusena putra Dewi Kunthi dengan Dewa Suryasangat cakap berolah senjata. Ia diangkat sebagai saudara oleh Duryudana dan dinobatkan sebagai senapati ‘panglima perang’ Hastinapura. Ia merasa telah diberi kemuliaan, kekayaan, dan kehormatan. Maka, kewajiban prajurit sejati adalah bertempur di medan laga walau Ia menyadari tidak akan menang berperang melawan saudaranya, Arjuna. Walaupun demikian tekadnya betul-betul telah bulat menjalankan darma dan karmanya.

Mangkunagara IV menyadari bahwa ketiga tokoh tersebut memiliki kelemahan masing-masing yang menurut pandangan umum masyarakat Jawa harus dihindari. Sumantri yang berani menantang/melawan rajanya ketika hendak mempersembahkan putri boyongan. Kumbakarna yang berwujud raksasa yang tentunya wataknya diwarnai oleh sifat-sifat amarah,  aluamah, dan supiah yang merupakan sifat kurang baik bagi seseorang. Karna Basusena yang berani menentang ibunya dan sampai hati menghadapi adiknya di medan peperangan adalah satu sikap angkuh dan sombong di hadapan masyarakat Jawa. Namun seperti diketahui, bahwa sifat baik dan buruk itu merupakan sesuatu yang melekat pada diri setiap orang yang tidak dapat dipisahkan dari eksistensi manusia dalam kehidupannya. Apalagi kelemahan-kelemahan ketiga tokoh tadi telah ditebus dengan darma baktinya, yaitu nuhoni trah utama pada diri Sumantri, nuhoni kesatriyane hing tekad labuh negari pada Kumbakarna, dan ciptanira harsa males sih pada Karna Basusena, sehingga ketiganya pantas dijadikan sebagai teladan suatu sikap keprajuritan.

Supardjo

K.G.P.A.A. Mangkunegara IV
sumber foto: google

Serat Tripama adalah salah satu karya KGPAA Mangkunagara IV yang cukup singkat. Hanya berisi 7 bait tembang Dhandhanggula. Serat ini sering ditembangkan oleh anak-anak sekolah dan dikutip sebagai lirik dalam musik gamelan. Secara ringkas berisi tentang teladan bagi para prajurit agar berwatak ksatria, gigih tidak takut dalam membela negara. Kata tripama sendiri berasal dari gabungan kata tri ‘tiga’ dan umpama ‘perumpamaan’, merujuk pada tiga tokoh dalam dunia pewayangan yaitu Patih Suwanda dari Maespati, Kumbakarna dari megeri Alengka dan Adipati Basukarna dari Awangga. Ketiganya digambarkan mempunyai loyalitas dan dedikasi yang tinggi pada negaranya, mengutamakan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan pribadi dan keluarga. Sikap ketiga tokoh itu juga menggambarkan berbagai macam nilai yang ada di dalam Etika Jawa sehingga patut menjadi suri teladan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Isi Ajaran luhur dalam Serat Tripama

1.      Bambang Sumantri atau Patih Suwanda

Tokoh sentral ini adalah putra Resi Wisanggeni dari Padepokan Jatisarana. Sejak kecil Sumantri bertekad akan mengabdi kepada Prabu Harjuna Sasrabahu di Maespati. Sumantri berhasil mengalahkan Prabu Dharmawisesa dan adiknya serta memboyong Dewi Citrawati putri Manggada dan dipersembahkan kepada Prabu Harjuna Sasrabahu. Kesaktian Sumantri terbukti mampu memindahkan taman Sriwedari atas permintaan Dewi Citrawati, dengan bantuan adiknya Sukasrana yang memiliki ajian Candabirawa. Bambang Sumantri yang kemudian bergelar Patih Suwanda di negeri Maespati yang masyhur keberaniannya dan mampu menyelesaikan tugas berat dengan penuh tanggung jawab. Patih Suwanda gugur ketika menghadapi Prabu Dasamuka raja raksasa dari kerajaan Alengka. Tiga tauladan watak dan kepribadian Patih Suwanda adalah:   Guna : pinter, wasis, mumpuni,  kawruh ‘kepandaian’,  Kaya: sugih, kecukupan ‘kekayaan’, dan Purun : wani, kendel, saguh, gelem ‘keberanian’.

2. Kumbakarna

Kumbakarna adalah pejuang tanpa pamrih, tidak untuk kepentingan derajat, pangkat, jabatan, dan kedudukannya. Perjuangannya dilandasi kecintaan kepada tanah air. Berperang tidak untuk menang, tetapi merupakan wujud pengabdian terakhir bagi nusa dan bangsanya. Ia berjuang tidak untuk mengabdi kepada raja karena ia tidak sependapat dengan perbuatan rajanya. Kumbakarna memilih gugur sebagai pahlawan, tidak mau melihat bencana yang menimpa tanah airnya Ia rela mengorbankan hidupnya demi bangsa dan negaranya.

3. Adipati Karna

Adipati Karna Basusena putra Dewi Kunthi dengan Dewa Suryasangat cakap berolah senjata. Ia diangkat sebagai saudara oleh Duryudana dan dinobatkan sebagai senapati ‘panglima perang’ Hastinapura. Ia merasa telah diberi kemuliaan, kekayaan, dan kehormatan. Maka, kewajiban prajurit sejati adalah bertempur di medan laga walau Ia menyadari tidak akan menang berperang melawan saudaranya, Arjuna. Walaupun demikian tekadnya betul-betul telah bulat menjalankan darma dan karmanya.

Mangkunagara IV menyadari bahwa ketiga tokoh tersebut memiliki kelemahan masing-masing yang menurut pandangan umum masyarakat Jawa harus dihindari. Sumantri yang berani menantang/melawan rajanya ketika hendak mempersembahkan putri boyongan. Kumbakarna yang berwujud raksasa yang tentunya wataknya diwarnai oleh sifat-sifat amarah,  aluamah, dan supiah yang merupakan sifat kurang baik bagi seseorang. Karna Basusena yang berani menentang ibunya dan sampai hati menghadapi adiknya di medan peperangan adalah satu sikap angkuh dan sombong di hadapan masyarakat Jawa. Namun seperti diketahui, bahwa sifat baik dan buruk itu merupakan sesuatu yang melekat pada diri setiap orang yang tidak dapat dipisahkan dari eksistensi manusia dalam kehidupannya. Apalagi kelemahan-kelemahan ketiga tokoh tadi telah ditebus dengan darma baktinya, yaitu nuhoni trah utama pada diri Sumantri, nuhoni kesatriyane hing tekad labuh negari pada Kumbakarna, dan ciptanira harsa males sih pada Karna Basusena, sehingga ketiganya pantas dijadikan sebagai teladan suatu sikap keprajuritan.